Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 Juni 2010

Asal Usul

Etimologi
Secara Etimologi Purba berasal dari [[bahasa Sanskerta]], ''purwa'' yang berarti [[timur]]. Arti lainnya adalah gelagat masa datang, pegatur, pemegang [[Undang-undang]], tenungan pengetahuan, cendekiawan/ sarjana.
Kerajaan Purba
Purba adalah marga dari Raja di kerajaan Banua Purba, salah satu kerajaan yang pernah ada di daerah Simalungun. Raja Purba memiliki keturunan: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.
Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora (kemungkinan Purba Sigulang Batu),Purba Manorsa (Purba manorsa adalah purba parhorbo yang asalnya dari Toba yaitu huta simamora nabolak terus merantau ke simanalungun) dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu. Sebagian orang percaya bahwa keturunan Simamora inilah yang menjadi leluhur marga Purba yang ada di daerah Simalungun. Keturunan Simamora ini menetap dan beranak cucu di daerah tersebut dan keturunannya dianggap sebagai orang Simalungun dan bukan lagi keturunan orang Toba (beda dengan Purba Sigulang Batu), yang menjadi leluhurnya. semakin lama keturunan Purba ini semakin banyak hingga jumlahnya menjadi lebih besar dari Purba Sigulang Batu yang tidak merantau ke tanah Simalungun.Pada tahun 1996, salah satu putra dari Raja Siboro diculik dan dinyatakan menghilang berserta ketiga saudaranya.
Raja-Raja Kerajaan Purba Pak-Pak di Pematang Purba
1. Tuan Pangultop Ultop (1624-1648)
2. Tuan Ranjiman (1648-1669)
3. Tuan Nanggaraja (1670-1692)
4. Tuan Batiran (1692-1717)
5. Tuan Bakkaraja (1718-1738)
6. Tuan Baringin (1738-1769)
7. Tuan Bona Batu (1769-1780)
8. Tuan Raja Ulan (1781-1769)
9. Tuan Atian (1800-1825)
10. Tuan Horma Bulan (1826-1856)
11. Tuan Raondop (1856-1886)
12. Tuan Rahalim (1886-1921)
13. Tuan Karel Tanjung (1921-1931)
14. Tuan Mogang (1933-1947)
Submarga Purba
Purba terdiri dari banyak sub-marga, antara lain:
1. Girsang
1. Girsang Jabu Bolon
2. Girsang Na Godang
3. Girsang Parhara
4. Girsang Rumah Parik
5. Girsang Bona Gondang
2. Pakpak
3. Raya
4. Siboro
5. Siborom Tanjung
6. Sidasuha
1. Sidadolog
2. Sidagambir
7. Sigumonrong
8. Sihala
9. Silangit
10. Tambak
11. Tambun Saribu
12. Tanjung
13. Tondang
14. Tua
Selain dari sub marga di atas, beberapa suku yang hidup di sekitar daerah Simalungun juga berbaur dengan penduduk bermarga Purba dan mengakibatkan timbulnya afiliasi marga-marga lain dengan marga Purba, antara lain: Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon.
Purba Tanjung
Purba Tanjung berasal dari Sipinggan, Simpang Haranggaol, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. Beberapa sumber menyatakan bahwa "Tanjung" pada marga ini berasal dari lokasi kampung Sipinggan yang merupakan sebuah Tanjung di Danau Toba, arah Haranggaol.
Keturunan Purba Tanjung berasal dari garis keturunan Ompung Marsahan Omas (dalam bahasa Indonesia berarti Bercawan Emas, karena kebiasaannya minum dari cawan Emas), yang adalah keturunan Purba Parhorbo. Marsahaan Omas memiliki keturunan bernama Bongguran yang memiliki kebiasaan "maranggir" (mandi air jeruk purut) di sekitar kampung Nagori, dengan menggunakan cawan emas.
Marsahan Omas memiliki 3 keturunan:
1. Tuan Siborna
2. Nahoda Raja
3. Namora Soaloon
Nahoda Raja memiliki anak bernama Raja Omo yang merupakan Purba Tanjung pertama yang bermukim di Sipinggan.
Daftar silsilah Purba Tanjung adalah sebagai berikut:
1. Raja Omo
2. Raja Girahma
3. Raja Na Ijombai Gabur
4. Raja Napinajongjong
5. Raja Daniel Igor Jakarta (3 bersaudara), menghilang
6. Raja Pusia
7. Paulus Purba Tanjung (6 bersaudara)
8. Markus Purba Tanjung (P Siantar)
9. James M. Purba Tanjung (Bandung)
10. Gabriel Radewa Purba Tanjung (Bandung)
Tokoh terkenal
• Pdt. Domu Hasiholan Purba Dasuha, Ephorus GKPS 2005-2010
• Ir. Guntur S. Siboro, ME,MBA, Professional, mantan Direktur PT. Indosat, Tbk
• Drs. Jabintang Siboro, Birokrat dan Tokoh Marga Siboro se - JABODETABEK
• Drs. James P. Siboro, Konsultan Keuangan dan Tokoh Marga Siboro se - JABODETABEK
• Juniver Girsang, Advokat
• Junimart Girsang, Advokat
• Kompol Kolestra Siboro, SH (Polri)
• Ir. Laras Siboro, Professional, PT. Telkom, Tbk
• Drs. Makmur Adrianus Siboro., MEngSc, Birokrat
• AKBP. Mestron Siboro, SH
• Polim Siboro,SH, Birokrat
• Martin Caspar Purba, Ahli Falsafah dan Pengajar - Medan
• Rusman Purba Siboro, SH, Ahli Hukum
• Drs. Slamat Purba Siboro, Birokrat Keuangan
• Kapten (Mar) Suparman Siboro
• Yan Apul H. Girsang, Advokat dan Pengajar
• Rudiaman Purba Tamsar,General Manajer GWK Jambi
• Jan Horas Veryady Purba - Bogor

Senin, 28 Juni 2010

BUDAYA SUKU BATAK

Budaya Suku Batak

SEJARAH
Kerajaan batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-silahi (silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan. Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi (Pardosi). Masa kejayaan kerajaan Batak dipimpin oleh raja yang bernama. Sultan Maharaja Bongsu pada tahun 1054.

DESKRIPSI LOKASI
Suku bangsa Batak berasal Pulau Sumatra Utara. Daerah asal permukiman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, dan Asahan.
UNSUR BUDAYA
A. Bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, yaitu: Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo, Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak, Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun, Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.
B. Pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang misalkan tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.
C. Teknologi
Cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani adalah beberapa contoh dari alat-alat yang biasa orangbatak gunakan dalam kehidupan bercocok tanam. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Dan yang paling terkenal dari suku batak ialah ulos. Dimana ulos punya banyak arti dalam tenunan-tenunan ulos tersebut.
D. Sosialitasa.
Perkawinan Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda marga sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan).
F. Religi
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan . Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara. Walaupun d emikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih mmpertahankan konsep asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
G. Kesenian
Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang .
NILAI BUDAYA
1. Kekerabatan Nilai kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalian Na Talu, dimana seseorang harus mencari jodoh diluar kelompoknya, orang-orang dalam satu kelompok saling menyebut Sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut Hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut Boru.
2. Hagabeon Nilai budaya yang bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu banyak, dan yang baik-baik.
3. Hamoraan Nilai kehormatan suku Batak yang terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan meterial.
4. Uhum dan ugari Nilai uhum orang Batak tercermin pada kesungguhan dalam menegakkan keadilan sedangkan ugari terlihat dalam kesetiaan akan sebuah janji.
5. Pengayoman Pengayoman wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas tersebut di emban oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu.
6. Marsisarian Suatu nilai yang berarti saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.

ASPEK PEMBANGUNAN
Aspek pembangunan dari suku Batak yaitu masuknya sistem sekolah dan timbulnya kesempatan untuk memperoleh prestise social. Terjadinya jaringan hubungan kekerabatan yang berdasarkan adat dapat berjalan dengan baik. Adat itu sendiri bagi orang Batak adalah suci. Melupakan adat dianggap sangat berbahaya.
Pengakuan hubungan darah dan perkawinan memperkuat tali hubungan dalam kehidupan sehari-hari. Saling tolong menolong antara kerabat dalam dunia dagang dan dalam lapangan ditengah kehidupan kota modern umum terlihat dikalangan orang Batak. Keketatan jaringan kekerabatan yang mengelilingi mereka itulah yang memberi mereka keuletan yang luar biasa dalam menjawab berbagai tantangan dalam abad ini.

Minggu, 27 Juni 2010

PERLINDUNGAN ANAK

INDONESIA DAN MASALAH TRAFFICKING

LATAR BELAKANG


Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan anakanak
merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan anak-anak
yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara memberikan
jaminan kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai dengan dunia
anak-anak itu sendiri, sedangkan kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan
rasa ketakutan, traumatik, sehingga tidak dapat mengembangkan psiko-sosial
anak, merupakan cermin suatu negara yang tidak peduli pada anak-anak sebagai
generasi bangsa yang akan datang. Disisi lain masa anak-anak merupakan masa
yang sangat menentukan untuk terbentuknya kepribadian seseorang.
meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan telah
mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
secara obyektif yang terjadi di kehidupan anak-anak adalah masih belum
teratasinya masalah anak yang terjadi di Indonesia, khususnya lagi kasus child
trafficking yang semakin tidak bisa ditolerir dengan akal sehat (the most
intolerable forms). Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang menjelaskan child trafficking adalah terdapat pada
Pasal 59, Pasal 68. dan yang mengatur tentang sanksi pidananya adalah Pasal
78, Pasal 83. dari hal itu semua pada dasarnya Pemerintah telah memperkuat
instrumen hukum tentang child trafficking, seperti KILO 182, CRC, Optional
Protocol of CRC on sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography –
namun hal tersebut hingga saat ini isu child trafficking masih belum
memperoleh intervensi yang signifikan.

Pada dasarnya child trafficking adalah penggunaan anak yang dilibatkan dalam
eksploitasi ekonomi maupun seksual dan lain-lain oleh orang dewasa atau pihak
ketiga untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang maupun bentuk yang
lain. Dalam kaitannya dengan anak, elemen “consent” (kerelaan atau
persetujuan) tidak diperhitungkan, karena anak tidak memiliki kapasitas legal
untuk bias memberikan (atau menerima) informed consent. Setiap anak, karena
umumnya harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar
terhadap berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisk, mental,
sosial, dan moral bagi seseorang untuk bias menentukan pilihannya, oleh
karenanya anak adalah korban (victim) dan bukan pelaku kejahatan (criminal
actor).
Ada beberapa criteria anak yang beresiko child trafficking, antara lain:

1.
Anak yang secara sosial – ekonomi berasal dari keluarga miskin –
kelompok marginal, baik yang tinggal di pedesaan dan didaerah kumuh
perkotaan.
2. Anak putus sekolah
3. Anak korban kekerasan dan perkosaan
4. Anak jalanan,
5. Anak pecandu narkoba
6. Anak yatim
7. Pengemis/peminta-minta
8. Anak korban penculikan
9. Anak korban bencana alam
10. Anak yang berasal dari daerah konflik
FAKTA DAN DATA

Dalam data yang diungkap, sejumlah 150 juta orang diperdagangkan dengan
mengalirkan sekitar 7 miliar dolar per-tahun. Di Indonesia, perempuan dan
anak-anak yang diperdagangkan sekitar 700.000 s/d 1.000.000 orang. Pada
tahun 1999, tercatat anak dan perempuan yang diperdagangkan mencapai
sekitar 1.718 kasus. Angka ini, pada tahun 2000, tercatat sejumlah 1.683 kasus, dengan berbagai lokasi yang terdeteksi, seperti Jakarta, Medan,
bandung, Padang, Surabaya, Bali dan Makasar. Berdasarkan laporan investigasi
kalangan NGO di Medan, diungkapkan kasus perdagangan anak yang akan
dilacurkan (Child Prostituted) di Dumai, propinsi Riau (Data PBB yang dimuat di
harian media Indonesia, 26 februari 2003, hal 10).

Pada laporan Poltabes Balerang, kasus perdagangan perempuan dan anak
yang masuk ke Poltabes balerang pada tahun 2003, terdapat 84 kasus dan
dapat diselesaikan sebanyak 65 kasus atau 77,38%. Sedangkan pada tahun
2004 sampai bulan mei, terdapat 57 kasus.

Sedangkan kondisi Ekploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Lingkungan
Pariwisata Indonesia sangatlah memprihatinkan, ini dapat dilihat dengan
indicator besaran yang dikeluarkan dalam kertas kerja the Government of The
Republic of Indonesia yang disampaikan pada Konfrensi ESKA II tahun 2001 di
Yokohama Jepang, bahwa sekitar 30% atau 40.000 s/d 70.000 Pekerja Seksual
Komersial adalah anak dibawah umur. Ini mengindikasikan bahwa kehidupan
anak di Indonesia sangat rentan dengan ESKA, apalagi anak-anak yang hidup di
lingkungan keluarga miskin, anak terlantar, buruh anak, anak jalanan, maupun
anak korban kekerasan, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan anak dalam situasi
demikian merupakan seorang korban dari “mekanisme” berbangsa yang
menciptakan kemiskinan, ketidakadilan, pelanggaran hukum – yang didisain dan
dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak.

MELAWAN CHILD TRAFFICKING

Banyak hal yang harus dilakukan didalam memerangi atau mencegah child
trafficking, antara lain:

1.
Terus menerus melakukan kampanye guna membangun kesadaran
permanan dikalangan masyarakat maupun sector industri, juga komitmen
pemerintah dan penegak hukum guna mendukung perlindungan anak dari
child trafficking.
2. Mewujudkan mekanisme kerjasama dan
aksi dalam segenap institusi
masyarakat dan lembaga-lembaga usaha yang bisa bersinergi untuk
memberikan perlindungan anak dari child trafficking.
3. Tersedianya mekanisme nasional dan daerah – antara lain dengan cara
bersinergi dalam bentuk task force (kelompok kerja) yang bisa langsung
bekerja di lapangan secara komprehensif dan terus menerus didalam
memberikan perhatian dan penanganan perlindungan anak dari child
trafficking.
4. Perlunya
dikeluarkan produk hukum anti trafficking yang pro
perlindungan anak dari dari tindak pidana perdagangan anak dan b
ertujuan untuk perlindungan hukum bagi anak korban child trafficking.
PENUTUP

Melindungi anak hari ini, adalah investasi bagi masa depan bangsa. Selain alasan
itu, kepemihakan pada anak sudah menjadi esensi kemanusiaan itu sendiri.
Karenanya, tindakan paradoks yang mengeksploitasi anak, secara ekonomi
maupun seksual – berada di luar konteks kemanusiaan yang hakiki.
Oleh karenanya Komisi Nasional Perlindungan Anak selalu mendukung langkahlangkah
yang diambil pemerintah dan semua pihak yang mempunyai kepedulian
dalam mendukung perlindungan anak dari child trafficking (perdagangan anak).
Hal ini berarti kita semua telah menciptakan keberlangsungan generasi bangsa
dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di masa datang.

surat gugatan TUN

15 Maret 2010
Kepada Yth:
Ketua Pengadilan TUN Jakarta
Di Jalan Ampera
Perihal : Gugatan Pembatalan Surat Keputusan Pemecatan Nomor : 10/3/2010/JKT.
Lampiran : Surat Kuasa Khusus
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rismando Hendra
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jalan Raya Duren Tiga No. 21,Jakarta Selatan
Kuasa hukum berdasarkan surat kuasa pada tanggal 12 Maret 2010 :
Nama : Rofin Mawan Purba, S.H, M.H.
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jalan Potlot 2 No 31,Jakarta Selatan
Yang selanjutnya disebut sebagai Penggugat.
Dengan ini mengajukan gugatan terhadap :
Lembaga Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Badan Kepegawaian berkedudukan di Jalan Gatot Subroto,Jakarta Selatan. Selanjutnya disebut sebagai Tergugat.
Adapun gugatan ini kami ajukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
Bahwa pada tanggal 10 Maret 2010 penggugat telah menerima Surat Keputusan Nomor : 10/3/2010/JKT, tentang pemecatan secara tidak hormat yang diterbitkan dan ditanda tangani oleh tergugat sesuai dengan pasal 55 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 bahwa gugatan ini masih dalam jangka waktu (90 Hari) yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang tersebut.
Penggugat telah bekerja sebagai PNS di kantor departemen pertanian selama kurang lebih 2 (dua) tahun lamanya.Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada tanggal 10 maret 2010 penggugat menerima Surat Keputusan Nomor : 10/3/2010/JKT tentang pemecatan secara tidak horma,dengan alasan bahwa penggugat tidak memenuhi kewajiban yang telah dilimpahkan padanya.Padahal sebelumnya penggugat telah mengirimkan surat permohonan cuti yang telah diterima oleh tergugat pada tanggal 7 Maret 2010.Pernyataan tersebut telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena melanggar asas proporsionalitas serta melanggar asas profesionalitas sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Pemecatan tersebut tidak memenuhi unsur pemecatan serta melanggar asas prodesionalias dan asas proporsionalitas pemerintahan yang baik,terlebih pula penggugat tidak diberi pesangon atas pemecatan yang dilakukan oleh tergugat.
Oleh karena itu selaku kuasa hukum sesuai Surat Kuasa tanggal 12 Maret 2010 mengajukan Surat Gugatan ini,dan memohon kepada ketua pengadilan TUN Jakarta agar memberikan kelonggaran atau penundaan terhadap pelaksanaan keputusan tata usaha Negara yang sedang di gugat.Serta kami juga meminta pemberian ganti rugi sebesar Rp. 3.000.000 ,- (Tiga Juta Rupiah) serta pengembalian nama baik penggugat.
Disamping itu penggugat meminta kepada tergugat agar segera menerbitkan surat keputusan pengangkatan kembali penggugat sebagai PNS secepatnya.
Berdasarkan uraian diatas,kami meminta agar ketua pengadilan TUN Jakarta agar :
• Memutus / mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
• Menyatakan batal / tidak sah Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat berupa S.K Nomor : 10/3/2010/JKT;
• Mewajibkan tergugat untuk membayar ganti rugi serta rehabilitasi;
• Mewajibkan tergugat untuk mencabut surat keputusan nomor : 10/3/2010/JKT;
• Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara;
• Mewajibkan tergugat untuk segera menerbitkan Surat Keputusan pengangkatan kembali sesuai pasal 97 ayat (8) & (9) UU No. 5 Tahun 1986.
Selanjutnya kepada pemegang kuasa ini kami berikan wewenang penuh untuk mewakili pemberi kuasa mengahdap dan berbicara di muka persidangan TUN. Membuat dan menandatangani surat-surat yang diajukan sehubungan dengan perkara tersebut. mejawab, membantah hal-hal yang tidak benar, mengajukan bukti-bukti, serta megajukan permohonan.
Jakarta, 15 Maret 2010
Kuasa Hukum, Penggugat,
Rofin Mawan Purba, S.H, M.H Rismando Hendra
——————————————————————————————-
Surat Kuasa Khusus
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Rismando Hendra,warganegara Indonesia,pekerjaan PNS,alamat jalan raya duren tiga no. 21,Jakarta Selatan.Selaku pemberi kuasa.
Dengan ini memberikan kuasa penuh kepada kantor “Rofin & Partner’s law firm”,warganegara Indonesia,pekerjaan advokat,alamat jalan potlot 2 no.31,Jakarta Selatan.Baik bertindak bersama-sama maupun sendiri-sendiri :
1. Rofin Mawan Purba,S.H, M.H
2. Ibnu Aji,S.H
————————————–KHUSUS————————————–
Bertindak atas nama pemberi kuasa salam hal ini selaku penggugat untuk mengajukan gugatan atas SK nomor :10/3/2010/JKT. Tentang pemecatan secara tidak hormat melalui pengadilan TUN Jakarta terhadap badan kepegawaian yang berkedudukan di jalan gatot subroto,Jakarta Selatan yang selanjutnya disebut sebagai tergugat.
Untuk itu penerima kuasa dikuasakan untuk membuat dan menandatangani surat surat,menghadapi instansi pemerintah yang berwenang,mengambil segala tindakan yang penting guna kepentingan perkara tersebut diatas.
Kuasa ini diberikan dengan hak substitusi sebagaimana diatur dalam pasal 57 UU No. 5 Tahun 1986,serta hak retensi dan hak lainnya menurut hukum.
Jakarta,12 Maret 2010
Penerima Kuasa, Pemberi Kuasa,


Rofin Mawan Purba
METERAI Rp. 6000
Rismando Hendra




Kamis, 24 Juni 2010

EXAMINASI KASUS KORUPSI

Oleh: abdul fickar hadjar

I. Pengantar

Paket Oktober-Nopember (1987-1988, dalam bentuk directives organ eksekutif) yang membuka kesempatan bagi pembukaan sector perbankan dan sekaligus merealisasikan kebijakan kebijakan deregulasi-debirokrasi ternyata dimanfaatkan oleh para konglomerasi untuk meluaskan usaha mereka (diversifikasi) ke sektor perbankan. Bahkan banyak pula pengusaha di sector perbankan kemudian melakukan diversifikasi usaha. Dengan cara ini konglomerasi yang menguasai dan memiliki bidang usaha dari hulu kehilir memiliki sarana untuk menarik dan menghimpun dana masyarakat demi kepentingan perluasan dan pengembangan kegiatan-kegiatan usaha mereka. Peningkatan usaha perbankan berkorelasi dengan tingkat persaingan tinggi antar bank untuk menarik nasabah (kreditur maupun debitur) dan kemudahan yang ditawarkan perbankan untuk mendapat kredit kepada para pengusaha khususnya yang berasal dari kelompok usaha mereka sendiri.

Krisis yang melanda Indonesia menurunkan kepercayaan terhadap rupiah sejak terjadinya gejolak moneter juli 1997 mulai menyangkut sector perbankan pada waktu timbul masalah kekurangan likuiditas (liquidity mismatch). Peningkatan usaha perbankan (termasuk cabang-cabangnya yang tersebar diseluruh pelosok tanah air) berdampak langsung pada tingkat efisiansi pengawasan Bank Indonesia (BI). Menurunnya tingkat pengawasan BI ini menyebabkan terjadinya mismagement perbankan (Negara dan swasta) dan penyimpangan / pelanggaran terhadap ketentuan pemberian kredit (BMPK) yang kemudian menimbulkan kesulitan likuiditas perbankan dan mendorong BI untuk mengucurkan BLBI. Pengucuran BLBI terhadap bank-bank yang kekurangan likuiditas ini termasuk PT. Bank Servitia, Tbk, rupanya tidak berpengaruh banyak terhadap kesehatan perbankan, yang pada akhirnya Pemerintah melalui berdasarkan UU perbankan membentuk badan khusus untuk menangani penyehatan perbankan yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Pada tanggal 14 Pebruari 1998, BI melalui Surat keputusan Direksi BI No. 30/218/KEP/DIR telah menempatkan Bank servitia dalam program penyehatan dan sehubungan dengan hal tersebut BI mendelegasikan tugas pelaksanan pembinaan dan pengawasan dalam penyehatan dan restrukturisasi Bank Servitia kepada BPPN. Namun program penyehatan terhadap BS ini tidak berjalan dengan baik sampai akhirnya BI mengeluarkan keputusan pada tanggal 13 Maret 1999 yang mengkatagorikan BS sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dengan keputusan tersebut BI menyerahkan BS kepada BPPN untuk penyelesaian yang konsisten dengan kebijakan dan prosedur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Perbankan jo PP BPPN) dalam rangka penyelesaian asset dan pengembalian uang Negara.

Dalam kurun waktu 17 Maret 1999 sampai dengan 17 Oktober 2000 dilakukanlah negosiasi-negosiasi penyelesaiannya dengan para pemegang saham BS yang dalam hal ini diwakili oleh David Nusa Djaya dan Tarunojojo Nusa menandatangani Akta No. 28 tentang Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (APU).

Untuk melepaskan diri dari kewajibannya David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo Nusa, selaku penanda tangan Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) PT Bank Umum Servitia Tbk tanggal 17 Oktober 2000 sebagai Para Penggugat mengajukan gugatan pada tanggal 2 Juni 2003 kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selaku Tergugat untuk membatalkan Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) yang kemudian lebih dikenal dengan APU.

Majelis Hakim dalam putusannya pada tanggal 20 November 2003 memutuskan antara lain :
1. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (BBKU) PT. Bank Umum Servitia Tbk.
2. Menghukum Tergugat untuk mengembalikan kepada Penggugat Uang Pembayaran sebesar 325 juta dalam waktu 14 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Dengan dibatalkannya APU tersebut maka negara (BPPN) berpotensi menderita kerugian sebesar lebih dari Rp. 3 triliun sebagai akibat tidak dikembalikannya dana BLBI yang sudah dipakai oleh David Nusa Wijaya dkk, sebagai pemegang saham eks. Bank Servitia.

Dengan adanya putusan ini tidak mustahil akan mendorong para obligor nakal lain untuk membatakan APU atau instrumen lain yang telah dibuat dengan BPPN (MSAA atau MRNIA) atau digunakan untuk menghindari tagihan BLBI atau kewajibannya dalam melunasi utang kepada negara.


II. Tabulasi perkara No. 303/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel antara David Nusa Widjaja &
Tarunodjojo Nusa Versus BPPN.

Gugatan David Nusa Widjaja & Tarunodjojo Nusa Jawaban BPPN)
Dalam Konpensi
Eksepsi:
1. Gugatan Para Penggugat sudah jelas dan terang sebagai gugatan PMH, karena APU dibuat dan ditandatangani dengan melanggar hukum;
2. Gugatan Para Penggugat berdasarkan hukum;
3. Gugatan diajukan dengan itikad baik, justru Tergugat yang beritikad buruk dengan tidak memenuhi komitmennya untuk mengaudit ulang JKPS BS;
Pokok Perkara
1. Para Penggugat pribadi bukan pemegang saham Bank Sertivia (BS) yang bertanggung jawab dalam penndatanganan PKPS & APU, karena pada saat pembekuan BS 13 Maret 1999 pemegang saham BS adalah :
a. PT. Chandranusa Multikapita (PT.CMK)
(131.949.000 lbr = 66 %);
b. PT. Chandranusa Multindustries (CMD)
( 27.426.000 lbr = 14 %);
c. Masyarakat
( 40.625.000 lbr = 20 %)

2. PPKPS & APU tidak memnuhi asas kesetaraan dalam berkontrak, karena PKPS & APU ditetapkan secara sepihak tidak didukung oleh bukti-bukti hukum, tidak seimbang dan menguntungkan Tergugat;

3. APU tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian (psl 1320 KUHPer), karena tidak memenuhi syarat “sepakat”, yaitu:
- tidak pernah menyetujui PPKPS & APU;
- adanya “komitmen” Tergugat untuk meng
audit ulang atas JKPS;
- Tergugat tidak pernah melakukan audit
ulang JKPS;
4. APU tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak (pasal 1320 jo pasal 1338 KUHPer), karena APU ditetapkan sepihak tanpa melibatkan Para Penggugat, yang isinya hanya mengatur dan menetapkan kewajiban Para Penggugat tanpa memperhatikan hak-hak para Penggugat;

5. Terdapat “penyalahgunaan keadaan” (misbruik van omstandigneden) dalam penandatanganan APU, karena:
- berdasarkan pendapat HP Panggaben &
Van Dunne : perkembangan ajaran
penyalahgunaan keadaan salah satunya
adalah “berlakunya itikad baik secara
terbatas” artinya sejalan dengan ketentuan
pasal 1338 ayat (1) KUHPer, para pihak
wajib memperhatikan (memperhitungkan)
kepentingan pihak lawan.
- APU mencerminkan adanya penyalah gu
naan dimana Tergugat sama sekali tidak
memperhatikan apa yang menjadi hak dan
kepentingan Para Penggugat;

6. Pengembalian atas pembayaran JKPS BS sejumlah Rp.325.000.000,-, karena dengan batalnya APU pembayaran harus dikembalikan oleh Tergugat;
(Doktrin Subekti : pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua pihak kembali pada keadan sebelum perjanjian. Kalau salah satu pihak telah menerima uang atau barang, maka itu hharus dikembalikan)

Dalam Rekonpensi:
Eksepsi:
1. Surat Kuasa Tergugat Konpensi/ Penggu
gat Rekonpensi tidak sesuai dengan UU
No. 13/1985, karena meterai tidak diberi
Tanggal, bulan dan tahun;


2. Gugatan Rekonpensi bertentangan dengan hukum dan menunjukan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi tidak taat dan tidak menghormati putusan pengadilan;
- gugatan Penggugat Rekonpensi tidak memerinci tuntutan ganti kerugian;

Pokok Perkara
Karena APU cacat hokum, maka tidak ada kewajiban Para Tergugat Rekonpensi (PTR) untuk membayar kewajiban pembayaran utang berdasarkan APU;

APU adalah perjanjian cacat hokum karena tidak adanya kesepakatan para pihak dan terjadi penyelahgunaan keadaan. Dengan demikian tuntutan Penggugat Rekonpensi (PR) yang mengharuskan PTR membayar kewajiban utang berdasarkan APU adalah tidak berdasarkan hokum.

Dalam Konpensi:
Eksepsi:
1. Gugatan Para Penggugat tidak jelas dan kabur, karena dalam positanya Para Penggu gat menggunakan ketentuan pasal 1320 dan pasal 1338 KUHPer, tetapi dalam petitumnya tidak menuntut wanprestasi & Para Penggugat tidak jelas mengkualifikasi perbuatan Tergugat;
2. Gugatan tidak berdasar hukum, karena: APU merupakan akta otentik yang dibuat
secara sah:
3. Gugatan diajukan dengan secara licik dan diajukan dgn itikad buruk untuk menghindari kewajiban;

Pokok Perkara:
1. Para Penggugat sebagai Direktur Utama & Dir pemasaran PT. CMK & CMD menguasai 80% saham BS memenuhi criteria sebagai pemegang saham pengendali (SK Meko Ekuin No. Kep.12/M
EKUIN/04/2000);
- Berdasarkan Putusan Perkara Pidana No.504/PID.B/2001/PN.Jak.Bar jo Putusan PT DKI Jakarta No.67/Pid/2002/PT.DKI Penggugat DNW terbukti sebagai orang yang bertanggung jawab atas penyelewengan BLBI (Korupsi);
2. Berdasarkan UU No. 7/1992 jo UU No.10
/1998 (UU Perbankan) jo PP No.17/1999 jo PP 47/2001 (PP BPPN) Tergugat merpakan
badan khusus yang dibentuk dalam rangka memulihkan kepercayan masy. Yang berfungsi untuk melakukan upaya penyehatan perbankan nasional;
- Berdasarkan dokumen-dokumen (al Cessi No.29, tanggal 22/2/1999), Informasi dari BI, dan penelitian dan didukung Pasal 43 ayat (1) PP 17/1999, Tergugat berhak dan berwenang untuk menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami Bank dalam penyehatan;

3. APU BS telah secara sah dibuat berdasarkan persyaratan psl 1320 KUHPer, karena:
- dengan ditanda tanganinya APU oleh
Para Penggugat & Notaril, terbukti Para
Penggugat telah sepakat;
- Penggugat tidak dapat membuktikan ada
nya “komitmen” dari Tergugat;
- andai ada “komitmen” pelaksanaan APU
tdk tergantung pada dilaksanakan atau
tidaknya audit ulang, karena sepenuhnya
merupakan hak Tergugat (Psl 3 btr 3.2
APU);

4. APU telah memenuhi asas kebebasan berkontrak (psl 1320 jo psl 1338 KUHPer), karena :
- dengan adanya surat menyurat dari Para
Penggugat sebelum ditandatanganinya
APU membuktikan adanya proses negosi
asi yang membuktikan adanya cukup
waktu bagi Para Penggugat (kebebasan –
red) untuk menandatangani atau tidak
APU Servitia;
- secara hokum Tergugat mempunyai kedu
dukan yang lebih kuat dari Para Pengugat
, karena Tergugat merupakan badan khu
sus yang dibentuk Negara berdasar UU;
- berdasar “doktrin” dalam perkembangan
nya “asas kebebasan berkontrak” semkin
sempit dilihat dari berbagai segi al :
kepentingan umum, perjanjian baku, dan
perjanjian dengan pemerintah;

5. Dalam penandatanganan APU tidak ada penyalahgunaan keadaan, karena:
- Doktrin (Z Asikin Kusumah Atmaja) al:
sebelum penerapan pasal 1338 in
concreto harus diteliti dulu apakah ada
keseimbangan dan keserasian antara para
pihak sebelum tercapainya consensus.
Penyalahgunaan keadaan atau penyalah
gunaan kekuasan ekonomi untuk
mencakup keadaan yang tidak dapat
dimasukkan dalam “itikad baik”, patut
dan adil, bertentangan dengan
kepentingan umum sebagai pengertian
klasik, karena keadan yang
disalahgunakan telah ada sebelum
tercapainya kata sepakat /consensus;
- dengan adanya bukti sebelum APU dibuat
sudah ada kesepakatan awal antara Para
Penggugat dengan Tergugat, maka unsur
“keadaan yang disalahgunakan telah ada
sebelum tercapainya kata sepakat” tidak
terpenuhi, karenanya terbukti dalam
pembuatan APU telah memenuhi asas
kebebasan berkontrak dan tidak ad ape
nyalahgunaan keadaan.

6. Pengembalian atas pembayaran harus ditolak, karena tidak ada dasar hukum atau bukti-bukti kuat yang diajukan Para Penggugat untuk membatalkan APU;

Dalam Rekonpensi:
Eksepsi:
1. Surat Kuasa Tergugat Konpensi
/Penggugat Rekonpensi telah sah dan
telah diberi meterai secukupnya, sehngga
memenuhi UU No.13/1985 (Bea Meterai
( Yurisprodensi MARI tgl. 25/5/1987 No
292K/Pdt/1986)
2. Gugatan Penggugat rekonpensi/Tergugat Konpensi tidak bertentangan dengan hukum, tetapi semata-mata untuk mempertahankan hak, karena putusan provisi belum bias dilaksanakan;
- Tuntutan ganti rugi sudah jelas dan terperinci:

Pokok Perkara
Para Tergugat Rekonpensi (PTR) telah melakukan perbuatan Wanprestasi atas APU Servitia, karena:
- PTR telah melanggar ketentuan tidak boleh menggugat;
- PTR telah lalai melakukan kewajiban pembayaran hutangnya;
- PTR telah lalai melakukan kewajibannya atas bunga dan bunga denda;
- PTR telah lalai menyerahkan agunan dan lalai memelihara nilai agunan;

Putusan PN Jakarta Selatan Perkara No. 303/Pdt.G/2003/PN.Jak.Sel
Dalam Konpensi
Eksepsi:
1.Gugatan Para Penggugat sudah jelas dan terang yaitu berkenaan dengan keberataannya terhadap JKPS yang ditetapkan sepihak . Walaupun Para Penggugat ikut menandatangani dengan konsekwensi menyetujui dan sepakat atas seluruh ketentuan didalamnya termasuk Para Penggugat tidak berhak lagi meminta pembatalan, namun hukum tidak menentukan demikian sepanjang Para Penggugat dapat membuktikan perjanjian dan kesepakatan itu dibuat dan ditandatangani dengan telah melanggar hukum;

2.Gugatan Para Penggugat didasarkan atas PMH yang dilakukan Tergugat, dimana Para Penggugat menandatangani APU setelah mendapatkan “permakluman” dari Tergugat akan ketidak mampuan memenuhi syarat-syarat dan jaminan APU dan adanya komitmen Tergugat untuk meninjau dan mengaudit ulang, namun Tergugat tidak melaksanakan janji-janji dan komitmennya. Dengan tidak dipenuhinya komitmen yang mengawali ditandatanganinya APU oleh Tergugat, menurut hemat Majelis “dasar gugatan” Para Penggugat sudah jelas dan terang, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan kedewasaan dan kejujuran di dalam berkontrak sebagaimana diatur di dalam Hukum Perdata Indonesia;

Pokok Perkara:
1.Berdsarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Para Penggugat (P-4) dan Tergugat (T/PR-1) benar antara Para Penggugat dengan Tergugat telah ditandatangani APU Servitia yaitu akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham No. 28 tanggal 17 oktober 2000;

2.Berdasarkan bukti T/PR-2, T/PR-3 (Putusan Pidana PN Jakarta Barat jo PT. DKI), T/PR-4 s/d T/PR-4m(Risalah Rapat), T/PR-5 s/d T/PR-9 (SK Dir BI & SK Menko Ekuin), T/PR-10, T/PR-11, T/PR-T/PR-12, T/PR-13 (Kep Rapat PT.BS, BA RUPS, Cessie dan Satgas Verifikasi BLBI) benar Para Penggugat merupakan pihak yang bertanggung jawab selaku pemegang saham dan mempunyai peran yang signifikan dalam tubuh PT. BS;

3.Berdasarkan bukti T/PR-14 s/d T/PR-28 (kesepakatan awal antara PP dengan T, Surat-surat T kepada PP) telah menunjukkan bahwa Tergugat sebagai lembaga khusus Pemerintah yang ditetapkan dan ditunjuk dalam program penyehatan perbankan telah melaksanakan tugasnya berkenaan dengan penyehatan BS guna menarik dan menyelamatkan asset negara khususnya dalam kaitannya dengan BLBI kepada BS yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dan berdasarkan bukti T/PR-29 s/d T/PR-32 ternyata Para Penggugat sebagai penanggung jawab APU Servitia telah melarikan diri dan berusaha melepaskan tanggung jawab hokum dalam kasus BLBI;

4.Berdasarkan bukti P-7a s/d P-7h, P-8a dan P-8b, T/PR-4a s/d T/PR-4m, T/PR-14, T/PR-15, T/PR-16, T/PR-17, T/PR-18 s/d T/PR-28 ternyata terkandung ketidak sepakatan dan telah terjadi perselisihan kehendak antara Para Penggugat dengan Tergugat berkenaan dengan penetapan JKPS oleh Tergugat yang lebih lanjut dituangkan dalam APU Servitia;

5.Mencermati pasal demi pasal APU, Majelis melihat isinya melulu tentang kewajiban Para Penggugat berkenaan dengan program penyehatan erbankan yang dilaksanakan Tergugat sebagai kepanjangan tangan Pemerintah utamanya dalam pengembalian asset Negara termasuk penyelamatan BLBI yang telah diluncurkan BI kepada perbankan nasional khususnya BS;

6.Berdasarkan bukti T/PR-18 s/d T/PR-26, P-8b dan P-15 “ternyata terkandung makna yang tersirat” bahwa sebenarnya didalam persetujuan menngenai angka-angka JKPS yang dituangkan dalam APU-Servitia, antara Para Penggugat dengan Tergugat sebelumnya telah ada komitmen yang dilakukan dalam bentuk “gentlement agreement” tentang akan dilakukannya audit ulang guna mendapatkan angka-angka yang kongkrit dan riel berkenaan dengan kewajiban pemegang saham BS ic Para Penggugat;

7.Menimbang berdasarkan kenyataan yang didukung jawabannya ternyata Tergugat telah tidak membuka peluang dilakukannya audit ulang atas segala asset BS, dengan mana secara nyata sesungguhnya Tergugat telah menyalahgunakan kekuasaannya didalam melakukan penekanan secara hokum dan kekuasaan yang ada padanya terhadap Para Penggugat untuk sampai pada posisi penandatanganan APU servitia;

8.Menimbang bahwa gentlement agreement yang memang dibuat tidak tertulis namun berdasarkan bukti-bukti tertulis lainnya menunjukkan adanya kemungkinan dan hubungan kausal yang nyata bahwa angka-angka JKPS yang memberatkan Para Penggugat akhirnya telah disetujui walaupun Para Penggugat nyata-nyata tidak memiliki kemampuan memenuhi syarat-syarat financial dan jaminan untuk itu, sehingga APU telah ditandatanganinya dalam ketidak mampuan, dan menurut hemat majelis indikasi adanya komitmen diluar apa yang tersurat dan tertulis adalah memang benar adanya;

9.Menimbang bahwa mencermati situsi perbankan nasional salaam masa krisis moneter / ekonomi yang secara nyata telah memberikan catatan dilikwidasinya sebagian besar bank swasta nasional termasuk BS, Majelis memaklumi keadaan Para Penggugat selaku pemegang saham yang bertanggung jawab atas BS berada pada pihak yang lemah berhadapan dengan Tergugat . Dengan posisi Para Penggugat selaku pihak yang lemah dan mengemukakan ketidak mampuannya tokh ternyata diizinkan pula menandatangani JKPS yang dituangkan dalam APU jelas tidak mungkin terpenuhi, satu dan lain hal karena disebabkan adanya permakluman dan komitmen untuk dilakukannya audit ulang yang lebih terang dan jelas atas segala asset BS;

10.Menimbang dengan tidak dipenuhinya komitmen-komitmen tersebut walaupun merupakan hak dan kewenangan Tergugat, jelas “telah melanggar asas kebebasan berkontrak, untuk itu pasal 1321 dan pasal 1449 KUHPerdata harus diterapkan sebagai upaya penegakkan hokum perdata yang harus dipenuhi dan dipatuhi oleh kedua belah pihak, khususnya berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak;

11.Menimbang dengan dilanggarnya komitmen yang telah menimbulkan kesepakatan dalam penandatanganan APU servitia oleh Tergugat dengan dalih hal tersebut merupakan kewenangannya, menurut majelis merupakan arogansi Tergugat yang tidak menghendaki penyelesaiaan masalah secara terang dan jujur, karenanya dalil gugatan Para Penggugat cukup beralasan hukum dan patut dan adil petitum gugatan Para Penggugat butir 2 untuk dikabulkan;

12.Menimbang bahwa karena APU servitia yang ternyata mengandung cacat tersembunyi karena diingkarinya komitmen-komitmen yang mengawalinya, maka setoran Para Penggugat sebesar Rp.325.000.000,- harus dikembalikan kepada Para Penggugat, karenanya petitum ke-3 gugata patut dan adil pula untuk dikabulkan;

Putusan:
Dalam Konpensi
Dalam Eksepsi
- menolak eksepsi-eksepsi Tergugat seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara
-mengabulkan seluruh gugatan Penggugat;
-menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hokum Akta PPKPS dan APU PT.BS, Tbk No. 28 tanggal 17 oktober 2000 yang dibuat dihadapan Martin Roestamy, SH Notaris di Jakarta;
-menghukum Tergugat mengembalikan kepada Para penggugat uang pembayaran sejumlah Rp.325 juta dalam waktu 14 hari setelah putusan berkekuatan hokum tetap;
-menghukum Turut Tergugat untuk tunduk pada putusan ini;

Dalam Rekonpensi
- menolak gugatan rekonpensi dari Penggugat Rekonpensi / Tergugat Konpensi untuk seluruhnya.

III. Kedudukan BPPN sebagai badan khusus pemerintah dalam APU

Sebagai pelaksanaan dari Pasal 37A ayat (1) dab (2) Undang-undang No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 tahun 19999 dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai badan khusus yang berfungsi untuk melakukan upaya penyehatan terhadap bank-bank umum yang kesulitan agar tercipta lagi industri perbankan yang sehat baik secara system maupun individual.

Dalam melaksanakan program penyehatan BPPN mempunyai tugas antara lain a) penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia, b) penyelesaian asset bank baik fisik maupun kewajiban debitor melalui unit pengelolaan asset, dan c) pengupayaan pengembalian uang Negara yang telah tersalur pada bank-bank melalui penyelesaian asset dalam restrukturisasi.

Sebagai lembaga khusus kepanjangan tangan pemerintah yang dibentuk berdasarkan UU, BPPN juga dilengkapi dengan kewenangan public diantaranya melakukan pengosongan atas tanah asset bank dalam penyehatan, menerbitkan Surat Paksa dalam rangka penagihan, melakukan penyitaan (sita eksekusi) atas kekayaan milk debitor, menjual asset debitor melalui pelelangan, serta kewenangan public lainnya yang berkenaan dengan penyelamatan asset Negara (vide PP 17/99).

Pada realitasnya, sebagai badan hukum public BPPN menggantikan kedudukan perbankan (nasional, swasta maupun milik Negara) sebagai kreditur tatkala berhadapan dengan para obligor mendayagunakan mekanisme pembaharuan perjanjian utang-piutang (MSAA, MRNIA, APU) dan juga membentuk AMI (untuk membereskan asset-asset perusahaan swasta yang diserahkan kepadanya). Ini berarti sebagai badan hukum public BPPN mentransformasikan dirinya menjadi badan hukum privat yang menutup kesepakatan keperdataan dengan para obligor untuk merestrukturisasi hutang-hutang mereka. Bila kemudian para obligor kembali ingkar janji terbuka pilihan bagi BPPN untuk menempuhsemua upaya hukum keperdataan atau upaya hukum pidana atau mendayagunakan hukum public yang ada padanya.

Persoalannya kemudian adalah posisi BPPN sebagai badan hukum public/privat yang dapat memanggil para obligor untuk datang kehadapannya dan menutup kesepakatan keperdataan mengenai restrukturisasi nyata telah memunculkan keraguan tentang dipenuhinya asas konsensualitas.

Dari perspektif hukum administrasi Negara, tindakan hukum sebuah badan hukum public, (seperti halnya BPPN-red), dapat dibedakan dalam dua tindakan hukum, yaitu a) tindakan –tindakan hukum public (publiekrechtelijke rechttshandelingen), dan b) tindakan-tindakan keperdataan (privaatrechtelijke rechtshandelingen). Tindakan-tidakan hukum public juga dapat dibedakan menjadi : tindakan hukum public sepihak yang bersifat umum (regeling) dan tindakan hukum public sepihak yang bersifat individual (beschiking).

Meski suatu tindakan hukum dilakukan oleh sebuah badan hukum publik, tidak serta merta hanya tunduk pada koridor dan mekanisme hukum public, tetapi tergantung pada kapasitas apa badan hukum public itu melakukan tindakan. Sebagai contoh sengketa yang lahir dari tindakan hukum public yang bersifat umum / pengaturan, maka mekanisme penyelesaiannya dilakukan melalui “judicial review”, sedangkan yang bersifat individual melalui mekanisme gugatan tata usaha Negara di peradilan tata usaha Negara. Demikian juga dengan tindakan badan hukum public yang merupakan tindakan keperdataan, maka sepenuhnya tunduk pada koridor hukum perdata, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 jo pasal 1338 KUHPerdata. Dalam konteks ini APU servitia harus dilihat dan dipahami sebagai perbuatan hukum perdata dari BPPN dan Para Pemegang Saham Bank Sertvia. Pendekatan dengan mengunakan “kewenangan public” dalam suatu sengketa keperdataan, justru akan menunjukkan adanya “ketidak seimbangan” para pihak dalam suatu kesepakatan perjanjian yang terbuka untuk ditafsirkan sebagai tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak.

APU Servitia perspektif psl 1320 jo psl 1338 KUHPer

Tanggal 17 Oktober 2000 antara David Nusa Widjaja (DNW) & Tarunodjojo Nusa (TN) dengan BPPN ditandatangani Akta No. 28 tentang Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Penggakuan Utang PT. Bank Servitia, Tbk (APU Servitia).

Dalam konteks pasal 1313 KUHPerdata APU Servitia telah memenuhi unsure-unsur sebuah perjanjian, yaitu:
(a) ada pihak-pihak sedikitnya dua orang, ic DNW & TN dan BPPN;
(b) ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak itu, yaitu persetujuan yang bersifat tetap bukan dalam proses perundingan / negosiasi, dalam hal ini telah ditandatanganinya APU Servitia oleh DNW&TN dan BPPN;
(c) ada tujuan yang akan dicapai, ic penyelesaian pengembalian dana BLBI;
(d) ada prestasi yang akan dilaksanakan, dengan adanya persetujuan (ditandatanganinya perjanjian) maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Dalam konteks APU Servitia, BPPN yang dalam hal ini mewakili Pemerintah ic BI telah melaksanakan kewajibannya yaitu menyalurkan BLBI kepada Bank servitia, Tbk (BS), sedangkan kewajiban BS yang dalam hal ini diwakili DNW&TN mengembalikan BLBI sebagaimana diatur dalam pasal-pasal APU Servitia;
(e) ada bentuk tertentu, dalam hal ini berupa Akta No. 28 tanggal 17 Oktober 2000;
(d) ada syarat-syarat tertentu, yang dari syarat-syarat ini dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini biasanya terdiri dari syarat pokok seperti barangnya, harganya; dan juga sayarat tambahan misalnya mengenai cara pembayaran, cara penyerahan dan lain-lain. Dalam konteks APU Servitia syarat-syarat tersebut tertuang didalam “isi perjanjian” APU tersebut.

Jika unsure-unsur perjanjian tersebut dihubungkan dengan pasal 1320 KUHPerdata, maka unsure yang signifikan untuk dikaji adalah unsur Syarat adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak meliputi unsure persetujuan, syarat-syarat tertentu dan bentuk tertentu.

Dalam konteks ini apakah “persetujuan penandatanganan APU Servitia” yang oleh DNW&TN disebut didahului dengan “komitmen-komitmen” atau disebut oleh Majelis Hakim sebagai “gentlemen agreement” yang tidak dilaksanakan oleh BPPN merupakan pelanggaran asas kebebasan berkontrak (freedom of making contract) karena adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan (psl 1321 jo 1449 KUPer) ?

Bahwa BPPN sebagai badan hukum public yang mempunyai kewenangan public adalah benar, akan tetapi dalam hal penandatanganan APU Servitia tindakan hukum BPPN merupakan tindakan hukum keperdataan yang kedudukannya setara / sejajar atau tidak lebih tinggi dari DNW&TN. Harus dipisahkan dalam konteks apa BPPN bertindak sebagai badan hukum public / Badan Tata Usaha Negara maupun bertindak sebagai badan hukum perdata.

Tindakan BPPN menghitung dan menetapkan sepihak JKPS BS bersumber dari kewenangan public yang diberikan UU (psl 37A (3)l UU No. 10/1998 jo psl 43 PP 19/1999), karena itu produk yang dihasilkan merupakan “keputusan tata usaha Negara”. Jika ada pihak yang keberatan terhadap produk penetapannya itu, termasuk BS ic DNW&TN, maka kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa / keberatan tersebut merupakan otoritas “peradilan tata usaha Negara”, bukan peradilan umum ic PN Jakarta Selatan. Sehingga tidak beralasan dan tidak berdasar untuk mempersoalkan “komitmen mengaudit ulang”, karena pada hakekatnya keberatan itu merupakan keberatan atas penetapan JKPS oleh BPPN, sementara defacto APU servitia sudah disepakati dan ditandatangani. (contoh lain: gugatan PTUN atas pemutusan perjanjian Cessie Bank Bali-Joko Tjandra oleh BPPN).

Demikian juga tidak dapat dinapikan bahwa fakta tindakan BS ic DNW&TN tidak dapat mengembalikan BLBI karena disalahgunakan peruntukannya tidak hanya berdimensi keperdataan (wanprestasi) tapi juga berdimensi pidana (korupsi), dan penuntutan melalui pendekatan pidana tidaklah dapat dijadikan alasan /argument bahwa kedudukan DNW&TN sebagai pihak yang lemah atau tidak setara dengan BPPN.

Keadaan perbankan nasional selama krisis moneter / ekonomi yang mengakibatkan sebagian besar bank nasional dilikwidasi termasuk BS, tidak juga beralasan digunakan sebagai argument bahwa DNW&TN sebagai penanggung jawab BS sebagai pihak yang lemah berhadapan dengan BPPN, karena sudah cukup waktu hukum bagi DNW&TN ( Maret 1999 – 17 Oktober 2000) untuk menyatakan menolak menandatangani APU, disamping itu DNW&TN bukanlah orang yang belum dewasa atau “sakit jiwa” ketika menandatangani APU. Demikian juga DNW&TN mempunyai hak & kesempatan untuk mempersoalkan “penetapan sepihak jumlah utang oleh BPPN” ke peradilan tata usaha Negara sebelum APU ditandatangani.
Argument penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dikaitkan dengan “penyalahgunaan keunggulan ekonomi” dimana DNW&TN dianggap berada pada pihak yang lemah, merupakan argument yang keliru, karena dalam konteks APU ini justru Pemerintah ic BPPN yang berada dipihak yang lemah, karena sejumlah uang (+/- rp.3 triliun) telah diambil dan digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya tanpa kejelasan pengembaliannya (penyalahgunaan BLBI).

Demikian juga merupakan kenyataan selama masa krisis itu lebih banyak bank yang tidak dilikwidasi dibandingkan yang dilikwidasi. Dengan menggunakan argument ini menunjukkan bahwa BS adalah bank yang “brengsek” dalam pengelolaannya (al: BMPK terhadap group sendiri) sehingga di bekukan (BBKU).

Hukum acara perdata yang dalam system hukum Indonesia menggunakan pendekatan formal (bukti tertulis), karenanya komitmen (DNW&TN) atau gentlement agreement (Majelis Hakim) eksistensinya harus diukur dengan pembuktian secara tertulis, sehingga tidak dilaksanakannya sesuatu hal yang dianggap ada dan tidak tertulis tidaklah dapat ditafsirkan sebagai pemaksaan, kekhilafan atau penipuan. Demikian juga surat menyurat pemberitahuan batas jatuh tempo pembayaran antara BPPN dengan DNW&TN (P-5 s/d P8b dan P-15, T/PR-18 s/d T/PR-26) tidaklah dapat ditafsirkan sebagai “terkandung makna tersirat” adanya komitmen atau gentlement agreement. Hal mana jelas bahwa surat menyurat itu berisi penagihan BPPN terhadap DNW&TN yang tidak/belum melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam APU Servitia.

Asas “kebebasan berkontrak” mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam UU. Walaupun demikian asas ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh UU, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Sepanjang penandtanganan APU Servitia tidak ada koridor pembatasan kebebasan berkontrak ini yang terlanggar, termasuk “penetapan jumlah utang sepihak” oleh BPPN yang didasarkan atas kewenangan yang diberikan UU.

Dari perspektif 1320 KUHPer, APU Sertivia merupakan perjanjian yang sah yang dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alas an-alasan yang cukup menurut UU dan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana dimaksudkan pasal 1338 KUHPerdata.

Catatan atas pertimbangan hakim:

Ada beberapa hal dari tindakan majelis hakim dalam membuat pertimbangan putusan Penggadilan Negeri Jakarta Selatan No. 303/Pdt.G/2003/PN. Jak.Sel antara lain :

1) terjadi simpilkasi / penyederhanaan masalah dalam pembahasan DNW & TN sebagai pemegang saham yang bertanggung jawab atas APU, seharusnya ada pembahasan tentang pemegang saham pengendali yang komprehensif berdasarkan peraturan perundangan dalam hal ini UU PT, UU Pasar Modal, Peraturan Bapepam dan peraturan lainnya yang terkait;

Demikian juga terjadi simplikasi dalam pembahasan keabsahan APU Servitia dengan penafsiran yang kurang didukung argument /dalil yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis maupun praktis, utamanya dalam menerapkan “asas patut dan adil” yang sama sekali melupakan bahkan menegasikan / mengingkari spirit “asas kepentingan umum”. Padahal sengketa itu sarat dengan kepentingan umum ic pengembalian asset Negara.

2). Independensi yang kebablasan tanpa akuntabiliti;
Kebebasan kekuasaan kehakiman (indevendency judiciary) yang melekat pada diri hakim dalam memutus perkara bukanlah kebebasan tanpa batas. Didalam “Independensi” selalu saja melekat “akuntability” yang selain peraturan perundang-undangan, juga kepentingan umum. Nampaknya hal ini kurang dihayati oleh Majelis yang memutus perkara ini, keyakinannya yang tidak mustahil didorong oleh “motivasi ekonomis” lebih mendominasi dalam membuat pertimbangan hokum, dan akuntability terhadap “demi keadilan berdasarkan keTuhanaan Yang Maha Esa” pun sudah mulai dilupakan.

3) Indikasi Judicial Corruption
Melihat dari pertimbangan hukum Majelis Hakim yang demikian sarat kepentingan dan mengingat David Nusa Wijaya selaku Penggugat memiliki track record yang tidak baik (divonis bersalah dalam kasus korupsi dan kabur ke luar negeri) ada indikasi adanya Korupsi dan Kolusi sehingga hukum tidak diterapkan dengan baik.

------ 00000 -------




CATATAN HUKUM
Atas Perkara No. 135/Pid/B/2004/PN.Cn
a.n Terdakwa H. Suryana Cs
Pengadilan Negeri Cirebon.

Oleh : Abdul Fickar Hadjar

(Hasil Eksaminasi lengkap lihat : www.antikorupsi.org/docs/blbi.pdf)

Posisi Kasus:
Perkara yang sidangnya digelar di Pengadilan Negeri Cirebon ini menghadirkan tiga terdakwa yang merupakan pimpinan DPRD Kota Cirebon periode 1999-2004. Ketiga terdakwa adalah Ketua DPRD Suryana dan dua wakil ketua, Sunaryo HW dan Haries Sutamin.
Mereka dituduh telah merugikan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon sebesar Rp 1.397.768.000. Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim Dehel K Sandan, SH dengan hakim anggota Togar Simamora, SH., MH dan Purwanto, SH. Adapun tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) terdiri dari Eman Sulaeman,SH dan Salman,SH.
Dakwaan :

Primer : Pasal 2 ayat (1) jo Psl 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 ygang telah dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP;

Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 ygang telah dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP;

Para Terdakwa Suryana Cs, secara melawan hukum (menyalah gunakan jabatan) menyusun dan menetapkan anggaran belanja DPRD Kota Cirebon tahun 2001 tanpa didasarkan / menyimpang dari PP No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang sekaligus merupakan perbuatan tercela, tidak patut dan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma yang hidup dalam masyarakat, menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain, merugikan Negara sejumlah Rp.1.397.768.000,-.



Tuntutan Penuntut Umum:

Dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, Jaksa penuntut Umum menuntut Para Terdakwa terbukti memenuhi “dakwaan Subsidair” dan menjatuhkan hukuman kepada para Terdakwa masing-masing selama 2 (dua) tahun..

Putusan Majelis Hakim

Berdasarkan fakta-fakta persidangan pula Majelis Hakim memutuskan bahwa para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan Primer maupun Subsidair, karenanya membebaskan Para Terdakwa dari dakwaan.
Putusan Majelis Hakim ini didasarkan pada pertimbangan
Dakwaan Primer:
- unsure melawan hukum tidak terbukti, karena penyusunan APBD Cirebon khususnya penetapan “dana penunjang DPRD” yang semula berjumlah Rp.728.536.000 menjadi Rp.2.088.536.000,- yang dikukuhkan Perda No. 8 Tahun 2000 dan disusun berdasarkan UU No. 4 Tahun 1999, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999, Permendagri No. 5 Tahun 1996. Perda 28/1996, Peraturan Tatib DPRD No. 6 Tahun 1999 dan TIDAK BERPEDOMAN kepada PP 110 tahun 2000, telah mendapat pembenaran atau telah dijustifikasi oleh Mahkamah Agung melalui putusan pembatalan PP 110 /2000;
- meski PP 110 / 2000 sebagai hukum positif telah cacat hukum karena bersifat “ultra vires” mengatur yang bukan kewenangannya, dan ketentuannya khususnya pasal 16 ayat (2) PP 110/2000 “tidak bersifat imperative” melainkan fakultatif;

Dakwaan Subsidair:
- unsure “ menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” tidak terbukti sebagaimana diuraikan dalam unsure melawan hukum dakwaan primair;

Beberapa Catatan Kritis

1. Bahwa dalam ketentuan UU Korupsi ic UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi tidak hanya diartikan melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi dapat juga mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sebagai tindak pidana korupsi. Ketentuan ini diadakan dengan maksud agar UU ini dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan perekonomian Negara yang semakin canggih dan rumit;

2. Dalam praktek penegakkan hukum, pembuktian terhadap unsure “melawan hukum” dalam pengertian formil dengan membuktikan bahwa suatu tindakan telah melanggar / tidak sesuai dengan hukum positif yang ada, relatif lebih mudah dibandingkan beban pembuktian “melawan hukum” dalam pengertian materiil seperti “perbuatan tercela”. Untuk dapat mengkongkritisasi pengertian tercela ini dibutuhkan fakta-fakta penunjang lainnya sebagai pembanding yang dapat menghasilkan suatu kesimpulan bahwa perbuatan/tindakan yang dilakukan seorang terdakwa itu merupakan tindakan yang tidak pantas dan tercela;

3. Dalam kasus korupsi aquo, jika melihat “dakwaan Jaksa Penuntut Umum” yang telah disusun sedemikian rupa baiknya, namun semangatnya masih menggunakan “standar” paradigma lama, yaitu positivis. Dalam dakwaan terlihat bahwa untuk dapat Para Terdakwa dipidana fakta-fakta hukum yang diangkat terbatas pada fakta-fakta yang menggambarkan pelanggaran PP No.110 tahun 2000 dan perhitungan kerugian Negara yang oleh BPKP didasarkan atas skema PP 110/2000, tanpa menyentuh fakta-fakta lain yang terjadi di kota Cirebon. Jika saja Jaksa penuntut Umum berani menampilkan fakta-fakta pendukung lain yang menggambarkan bahwa “penyusunan anggaran penunjang kegiatan DPRD” sangat tidak pantas jika dibandingkan dengan situasi social yang terjadi di kota Cirebon. Dalam hal ini JPU dapat menampilkan “data-data” pendapatan perkapita penduduk kota Cirebon, peta garis kemiskinan di kota Cirebon (perbandingan anggaran pemberantasan kemiskinan dengan anggaran penunjang DPRD), tingkat pendidikan masyarakat (perbandingan angaran pendidikan dengan anggaran penunjang DPRD), dsb, dsb yang dapat menggambarkan bahwa “penentuan jumlah uang penunjang kegiatan DPRD” seharusnya oleh Negara ic Pemda Cirebon dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat banyak pada umumnya.

4. Dalam sistematika dakwaan, tidak terlihat jelas perbedaan uraian kejadian antara dakwaan Primer yang dititik beratkan pada “tindakan melawan hukum” memperkaya diri / orang lain, dengan penyalahgunaan wewenang / jabatan dengan melawan hukum, sehingga mempengaruhi akurasi dan efektivitas dakwaan dalam pemeriksaan di pengadilan. Uraian unsure melawan hukum sama dan sebangun dengan uaraian unsure menyelahgunakan kewenangan karena jabatan;

5. Dari catatan fakta-fakta persidangan dalam putusan perkara No. 135/Pid/B/2004/PN.Cn, nampak terlihat bahwa yang muncul kepermukaan adalah prosedur-prosedur yang terjadi dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota Cirebon yang keseluruhannya didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang ada seperti Tata tertib DPRD, Perda, Keputusan DPRD, UU No. 22/1999 dan UU No. 25 tahun 1999 di satu sisi, di sisi lain uraian fakta-fakta PP No. 110/2000 justru melemahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yaitu tentang terlambatnya PP 110/2000 diterima oleh DPRD Cirebon dalam penyusunan APBD, PP 110/2000 cacat hukum karena Ultra Vires yaitu mengatur bukan kewenangannya dan PP 110/2000 tidak imperative melainkan fakultatif. Dari uraian-uraian fakta yang ditampilkan dalam putusan perkara aquo, sebenarnya nampak jelas keberpihakan Majelis Hakim kepada para Terdakwa, karena uraian-uraian tersebut jelas bersifat meringankan bahkan membebaskan Para Terdakwa dari dakwaan. Padahal ada satu fakta hukum yang tidak dapat disiasati oleh Majelis Hakim, yaitu adagium hukum yang menyebutkan : “setiap orang dianggap mengetahui Hukum” termasuk dalam hal ini para anggota DPR. Adagium ini dalam bentuknya berupa ketentuan yang tertulis dalam setiap perundang-undangan yang berbunyi : Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.;

6. Adalah fakta PP No. 110 tahun 2000 diundangkan pada tanggal 30 Nopember 2000, yang quajuridis setiap orang telah terikat pada PP aquo pada tanggal tersebut, karena jika kemudian Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum antara lain menyebutkan bahwa DPRD Kota Cirebon baru mengetahui PP 110/2000 aquo pada bulan Mei 2001 adalah pertimbangan yang mengada-ada, karena pertimbangan hukum tersebut justru telah dibuat dengan melanggar hukum yaitu tidak memepertimbang adagium mengenai setiap orang dianggap mengetahui hukum sejak hukum itu diundangkan, apalagi DPRD yang notabene juga merupakan “lembaga legislative” di daerah yang seharusnya lebih dahulu mengetahui dibandingkan masyarakat. Karenanya penyusunan APBD 2001 khususnya anggaran penunjang kegiatan DPRD yang dilakukan oleh para Terdakwa sebagai Ketua dan wakil ketua DPRD kota Cirebon dan atau Ketua / Wakil ketua Panitia anggaran tanpa mempertimbangkan ketentuan-ketentuan PP 110/2000 adalah tindakan penyalah gunaan kewenangan / jabatan dengan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain;

7. Demikian juga meski jelas bahwa perkara korupsi ini merupakan perkara pidana yang pendekatannya mencari kebenaran materiil, namun Majelis Hakim aquo dalam putusannya nampak bertindak seperti hakim dalam perkara perdata saja. Ia hanya mempertimbangkan apa yang secara tertulis diajukan oleh para pihak dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dan Pembela / penasehat Hukum Para Terdakwa. Dalam fungsinya sebagai hakim pidana, Majelis Hakim kurang menggali apa-apa yang tersirat dari fakta-fakta persidangan yang tersurat. Sebagai contoh seharusnya Majelis hakim menggali latar belakang dan tujuan penyusunan APBD, adalah fakta bahwa APBD disusun dari uang Negara / daerah yang merupakan uang rakyat hasil dari pembayaran pajak dsb. Disisi yang lain ada fakta juga bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk penyusunan APBD sepenuhnya bertujuan menyejahterakan kehidupan rakyat, karenanya jika penyusunannya ic APBD ic anggaran penunjang kegiatan DPRD tidak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang lebih luas, maka karena jabatannya paara Terdakwa telah menyalahgunakan kewenangannya dengan melawan hukum bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

Kesimpulan

Bahwa dalam uraian kejadian dalam Surat dakwaan primer dan subsidair tidak jauh berbeda, sehingga dalam proses pemeriksaan dalam persidangan baik Jaksa maupun Hakim tidak mengupas fakta-fakta hukum yang dalam dari peristiwa yang didakwakan sebagai tindak pidana korupsi. JPU dalam arugemen-argumennya kurang dapat menampilkan kekuatan PP No.110/2000 sebagai hukum positif yang berlaku pada siapa saja termasuk DPRD Cirebon, disamping tidak/kurang menampilkan fakta-fakta pendukung yang dapat membuktikan bahwa perbatan para Terdakwa adalah melawan hukum dalam pengertian materiil.

Majelis hakim jelas nampak pemihakannya kepada para Terdakwa, karena secara detail selain hanya mempertimbangkan apa-apa yang secara tertulis ditampilkan para pihak, sehingga nampak berfungsi sebagai hakim perdata –quod non- padahal hakim pidana, juga sebagai hakim pidana yang pendekatan pemeriksaannya mencari kebenaran materiil tidak banyak menggali fakta-fakta dan latar belakang serta tujuan penyusunan APBD khususnya anggaran penunjang kegiatan DPRD yang nota bene menggunakan uang rakyat, dengan kata lain keadilan masyarakat belum menjadi bagian dari sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam putusannya.

Anjak Piutang

A. Pengertian
Anjak piutang (Bahasa Inggris: factoring) adalah suatu transaksi keuangan sewaktu suatu perusahaan menjual piutangnya (misalnya tagihan) dengan memberikan suatu diskon. Ada tiga perbedaan antara anjak piutang dan pinjaman bank. Pertama, penekanan anjak piutang adalah pada nilai piutang, bukan kelayakan kredit perusahaan. Kedua, anjak piutang bukanlah suatu pinjaman, melainkan pembelian suatu aset (piutang). Terakhir, pinjaman bank melibatkan dua pihak, sedangkan anjak piutang melibatkan tiga pihak.
Menurut Kasmir dalam “Bank dan Lembaga Keuangan lainnya” menjelaskan bahwa anjak piutang atau yang lebih dikenal dengan factoring adalah perusahaan yang kegiatannya melakukan penagihan atau pembelian atau pengambilalihan atau pengelolaan hutang piutang suatu perusahaan dengan imbalan atau pembayaran tertentu dari perusahaan (klien).
Kemudian pengertian anjak piutang menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor NO.172/KMK.06/2002 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
Tiga pihak yang terlibat dalam anjak piutang adalah penjual, debitur, dan pihak yang membiayai (factor). Penjual adalah pihak yang memiliki piutang (biasanya untuk layanan yang diberikan atau barang yang dijual) dari pihak kedua, debitur. Penjual selanjutnya menjual satu atau lebih tagihannya dengan potongan atau diskon ke pihak ketiga, suatu lembaga keuangan khusus untuk mendapatkan uang dalam bentuk kas. Debitur akan membayar langsung ke perusahaan pembiayaan dengan jumlah penuh sesuai nilai tagihan.
Agar dapat lebih memahami tentang perjanjian anjak piutang ini maka dapat dilihat dari tiga serangkai hukum yaitu :
 Subyek hukum dari perjanjian anjak piutang itu tentau saja adalah Penjual, Pembeli dan Perusahaan anjak piutang. Namun penamaan tersebut dirubah disesuaikan dengan hakekat anjak piutang. Perusahaan anjak piutang atau dikenal sebagai factor adalah badan usaha yang menawarkan anjak piutang lihat pengertian di atas. Klien adalah pihak yang menggunakan jasa dari anjak piutang (mudahnya adalah pihak yang menjual piutang kepada factor). Penjual atau supplier masuk dalam pengeritan klien. Sementara nasabah atau konsumen merupakan pihak yang mengadakan transaksi dengan klien.
 Obyek Hukum. Obyek hukum dalam perjanjian ini jelas adalah piutang itu sendiri. Baik itu dijual atau dialihkan atau di urus oleh pihak lain.
 Peristiwa hukum atau hubungan hukumnya adalah perjanjian anjak piutang, yaitu perjanjian antara perusahaan anjak piutang dengan klien.

B. Peran Lembaga Keuangan Anjak Piutang Dalam Ekonomi
Kenyataan selama ini banyak sektor usaha yang menghadapi berbagai masalah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Masalah masalah tersebut pada prinsipnya berkaitan antara lain: kurang kemampuan dan terbatasnya sumber-sumber permodalan, lemahnya pemasaran sehingga target penjualan tidak tercapai. Disamping itu perusahaan hanya terkonsentrasi pada usaha peningkatan produksi dan penjualan sedangkan administrasi penjualan termasuk penjualan secara kredit (Piutang) masih terabaikan.
Kelemahan dibidang manajemen/ pengelolaan piutang menyebabkan semakin meningkatnya kredit macet. Kondisi seperti ini mengancam kontinuitas usaha yang pada gilirannya akan menyulitkan perusahaan dalam memperoleh sumber pembiayaan dari lembaga keuangan.
Beberapa manfaat yang dapat diberikan lembaga anjak piutang dalam rangka mengatasi masalah dunia usaha adalah sebagai berikut:
• Penggunaan jasa anjak piutang akan menurunkan biaya produksi dan biaya penjualan.
• Anjak piutang dapat memberikan fasilitas pembiayaan dalam bentuk pembayaran dimuka (Advanced Payment) sehingga akan meningkatkan Crediet standing perusahaan .
• Kegiatan anjak piutang dapat meningkatkan kemampuan bersaing perusahaan klien karena klien dapat mengadakan transaksi perdagangan secara bebas baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional.
• Meningkatkan kemampuan klien dalam memperoleh laba melalui peningkatan perputaran modal kerja.
• Menghilangkan risiko kerugian akibat terjadinya kredit macet karena resiko kredit macet ini dapat diambil alih oleh lembaga anjak piutang.
• Kegiatan anjak piutang dapat mempercepat proses ekonomi dan meningkatkan pendapatan nasional.

C. Mekanisme Pembiayaan Lembaga Keuangan Anjak Piutang (Factoring)
Transaksi anjak piutang biasanya diawali dengan negosiasi antara perusahaan (klien) dengan lembaga anjak piutang (factoring) yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan dengan fasilitas yang disediakan perusahaan anjak piutang. Apabila perusahaan sudah mengetahui kebutuhannya sejak awal maka akan lebih mempermudah dan mempercepat transaksi anjak piutang.
Beberapa fasilitas anjak piutang yang ditawarkan:
a. Undisclosed/ Non Notification Factoring
Adakalanya perusahaan ingin performance/ bonafiditasnya tetap terjaga dimata pelanggan (debitur) walaupun sebetulnya perusahaan sedang kesulitan dana. Untuk itu pada saat pengalihan piutang maka perusahaan tidak memberitahu pelanggan (debitur) bahwa piutang sudah dialihkan ke perusahaan anjak piutang (factoring). Transaksi anjak piutang ini dinamakan Undisclosed/Non Notification Factoring. Mekanisme transaksi Undisclosed sebagai berikut :
1. Terjadi transaksi penjualan secara kredit kepada pelanggan (klien)
2. Negosiasi dan kontrak anjak piutang antara perusahaan (klien) dengan lembaga anjak piutang (factoring) dimana perusahaan menyerahkan kopi faktur penagihan piutang dan dokumen terkait lainnya sedangkan dokumen asli tetap dipegang perusahaan.
3. Lembaga anjak piutang memberikan pembiayaan maksimal 80% dari nilai faktur.
4. Pada saat jatuh tempo perusahaan akan menagih kepada debitur/pelanggan.
5. Perusahaan akan mengembalikan pinjaman dana kepada factoring ditambah dengan biaya anjak piutang (service charge/discount charge).
b. Disclosed/ Notification Factoring
Jika perusahaan (klien) setelah memperoleh pembiayaan dari anjak piutang tidak ingin direpotkan oleh tugas menagih kepada debitur maka perusahaan bisa memanfaatkan fasilitas disclosed factoring yaitu segera menyerahkan pengelolaan piutang kepada perusahaan anjak piutang.
Mekanisme transaksi ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
1. Terjadi penjualan secara kredit kepada pelanggan (klien)
2. Negosiasi dan kontrak factoring antara perusahaan (klien) dengan lembaga anjak piutang dimana perusahaan menyerahkan faktur penagihan dan dokumen terkait lainnya (dokumen asli).
3. Perusahaan memberitahu kepada debitur kalau piutang dan penagihan sudah dialihkan ke lembaga anjak piutang.
4. Lembaga anjak piutang memberikan pembiayaan maksimum 80% dari nilai faktur.
5. Pada saat jatuh tempo lembaga anjak piutang melakukan penagihan kepada debitur.
6. Pelanggan (debitur) membayar tagihan kepada anjak piutang.
7. Lembaga anjak piutang menyerahkan sisa dan (20% Nilai faktur) kepada perusahaan (klien) setelah sebelumnya dikurangi biaya administrasi.
Dalam transaksi anjak piutang terdapat beberapa risiko yang mungkin timbul diantaranya:
1. Pada Undisclosed Factoring ada kemungkinan perusahaan (klien) ingkar janji (wanprestasi) yaitu tidak mengembalikan pinjaman/pembiayaan kepada factoring walaupun perusahaan sudah menerima pembayaran dari debitur sehingga anjak piutang mengalami kerugian.
2. Pelanggan/debitur yang ingkar janji yaitu tidak membayar hutangnya pada saat jatuh tempo sehingga kemungkinan perusahaan atau lembaga anjak piutang yang mengalami kerugian.
Untuk mengatasi risiko tersebut, pada saat kontrak/ perjanjian dibuat maka perlu ditetapkan pihak yang bertanggung jawab atas penanggungan resiko. Jika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dan yang menanggung resiko tersebut perusahaan (klien) maka perjanjiannya dinamakan with recourse factoring sedangkan jika lembaga anjak piutang yang menanggung risiko kerugiaannya maka perjanjiannya dinamakan without recourse factoring.
Jika melihat fasilitas-fasilitas yang disediakan lembaga anjak piutang, ternyata usaha anjak piutang lebih dominan kepada pemberian jasa pembiayaan (financing service) atas pengalihan piutang dari klien (perusahaan). Namun demikian lembaga anjak piutang juga memberikan jasa dibidang non pembiayaan (non financing service). Jasa non pembiayaan ini pada dasarnya untuk melayani pengelolaan piutang (kredit) perusahaan klien.
Produk jasa non pembiayaan ini diantaranya :
1. Investigasi kredit (credit investigation) atau analisis kredit yaitu lembaga anjak piutang membantu perusahaan untuk menilai calon customer/debitur.
2. Mengelola administrasi penjualan secara kredit (sales ledger administration/sales accounting).
3. Mengawasi/ memonitor penjualan yang dilakukan klien termasuk menetapkan prosedur penagihan.
4. Memberikan masukan atau mengusahakan cara pengamanan terhadap risiko piutang terutama jika transaksi perdagangan secara internasional (export financing) yang rentan terhadap risiko terjadinya fluktuasi kurs valuta asing.
Dengan memanfaatkan jasa anjak piutang maka perusahaan (klien) tidak perlu membentuk bagian kredit tersendiri dalam organisasi. Lembaga anjak piutang sudah secara otomatis telah melaksanakan fungsi bagian crediet (credit departement) dimana lembaga anjak piutang akan memberikan laporan hasil kerjanya secara periodik kepada perusahaan (klien)
Atas pemanfaatan jasa anjak piutang timbul suatu kewajiban bagi perusahaan (klien) yaitu membayar biaya anjak piutang. Biaya ini terdiri dari:
• Service charge yaitu biaya yang dikeluarkan karena klien menggunakan jasa untuk pengelolaan/ pembukuan penjualan (sales ledger) dari transaksi penjualan yang dilakukan klien. Besarnya biaya berkisar antara 0,5% – 2,5% tergantung kesepakatan antara anjak piutang dan klien.
• Discount charge yaitu biaya yang dikeluarkan karena klien memperoleh pembiayaan (dana tunai) dari lembaga anjak piutang. Besarnya biaya discount charge antara 2% – 3%. Biaya ini juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

D. Manfaat Lembaga Keuangan Anjak Piutang
Manfaat anjak piutang bagi perusahaan (klien) dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perusahaan yang kesulitan/kekurangan dana akan segera memperoleh dana tunai sehingga terdapat aliran kas masuk (cash in flow) yang bisa digunakan untuk modal kerja perusahaan. Aliran kas (cash in flow) akan lebih lancar karena perusahaan tidak perlu menunggu pencairan piutang sampai jatuh tempo.
2. Tugas perusahaan (klien) dalam pengelolaan administrasi penjualan dapat dialihkan ke lembaga anjak piutang karena lembaga ini membantu mengelola administrasi penjualan dan penagihan (sales ledgering and collection service).
3. Perusahaan (klien) tidak ragu dalam penjualan produknya terutama kepada customer baru karena resiko tagihan macet bisa ditanggung bersama dengan lembaga anjak piutang (credit insurance).
4. Anjak piutang dapat memperbaiki sistem penagihan sehingga piutang dapat dibayar tepat saat jatuh tempo dan sebisa mungkin penagihan ini tidak merusak hubungan baik antara perusahaan (klien) dengan pelanggannya (customer).

TENTANG PERDA- PERDA INVESTASI DI JAWA TENGAH

Peraturan daerah merupakan suatu aturan tersendiri yang dibuat atau dibentuk oleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan investasi, tiap daerah memiliki suatu perbedaan di dalam pembuatannya. Investasi sangat diperlukan guna memacu pertumbuhan ekonomi dan memperluas lapangan kerja baru, sehingga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya di Jawa Tengah. Dengan adanya peraturan daerah mengenai penanaman modal dan pengelolaan panas bumi, dapat memberikan regulasi yang jelas sebagai acuan dasar bagi kabupaten/kota, masyarakat dan stakeholder terkait, serta memberi lampu hijau bagi para investor untuk mengolah potensi tersebut. Rancangan Perda tentang penanaman modal di Jateng akan diajukan untuk dibahas dan selanjutnya disetujui agar dapat menarik investor untuk meningkatkan investasinya, sehingga dapat meningkatkan sumber dana pembangunan maupun Pendapatan Asli Daerah. Dengan peningkatan kegiatan penanaman modal tersebut, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya.
Peraturan daerah (perda) tentang penanaman modal diharapkan menjadi bagian penting Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mendorong percepatan realisasi investasi. Percepatan realisasi investasi itu hanya dapat tercapai bila berbagai faktor yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi.
Upaya mengatasi hambatan tersebut dapat dilakukan melalui kemudahan dan kecepatan memperoleh izin usaha, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal. Selain itu, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang dan Peraturan Daerah tentang Penanaman Modal ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menginisiasi peraturan serupa di tingkat kabupaten/ kota. diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan
Penerbitan perda tersebut merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sementara itu, anggota Panitia Khusus Peraturan Daerah Penanaman Modal DPRD Jawa Tengah penanaman modal merupakan bagian dari pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga menciptakan lapangan kerja baru, dan pembangunan yang berkelanjutan dalam upaya mewujudkan masyarakat Jateng semakin sejahtera.
Untuk menjadikan Jawa Tengah sebagai daerah tujuan investasi dapat dilakukan melalui:
1. Penerapan pelayanan perizinan terpadu satu pintu dan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara elektronik sehinga menekan praktik pungutan liar.
Guna mendorong masuknya investasi serta menekan praktik pungutan liar pada proses perizinan, DPRD Jateng kini tengah menggodok Perda penanaman modal. Salah satu yang ditargetkan segera terealisasi adalah pendirian Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Sistem perizinan ini diharap bisa mulai dilaksanakan pada 2010 ini di Pemprov Jateng. "PTSP ini diharapkan bisa menekan biaya perizinan hingga 'zero cost' atau tanpa dipungut biaya agar investasi bisa dengan mudah masuk ke Jateng. Dengan selesai disusunnya Perda nanti, diharapkan bisa segera mengkoordinasikan PTSP ke tingkat kabupaten atau kota. Hal itu dikarenakan nantinya perizinan memang akan lebih banyak dilakukan di tingkat kabupaten/kota, sedangkan provinsi hanya sebagai fasilitator saja. Sistem satu pintu diyakini akan menekan praktik pungutan yang dilakukan oknum. Karena calon investor yang hendak mengurus perizinan cukup datang ke kantor PTSP. Selanjutnya investor akan ditemui petugas front office. Petugas itulah yang nantinya akan mengirimkan berkas ke meja-meja sesuai bidangnya masing-masing. Jadi kecil kemungkinan calon investor bertemu dengan oknum yang akan menjanjikan mempermudah perizinan.
2. Meregulasi tiga peraturan daerah yang dinilai menghambat masuknya investasi
Salah satu kota terpenting dan terbesar di Jawa Tengah adalah Semarang. Disinilah banyak dijumpai investasi di berbagai sekor, Semarang untuk mengejar predikat kota pro investasi, Kota Semarang butuh regulasi peraturan daerah yang tidak membebani investor dan pengusaha. Tanpa regulasi di sektor pendukung pengembangan investasi, keberadaan kawasan industri akan terus kalah dibanding Solo dan Purbalingga. Kota Semarang selama lima tahun terakhir hanya mampu menduduki posisi nomor empat sebagai kota pro investasi.
Dari segi infrastruktur, ada bagian kawasan yang menyedihkan karena kerap jadi langganan banjir dan rob di Semarang Utara. Kondisi ini memprihatinkan bagi investor baru maupun pengusaha yang sudah giat berbisnis di Semarang. Pemerintah Semarang seharusnya berani Meregulasi tiga peraturan daerah yang dinilai menghambat masuknya investasi. Ketiga perda itu menjadikan Kota Semarang tidak pro investasi kecuali hanya menjadikan investor sebagai perahan penyumbang pendapatan daerah. Perda yang dinilai bermasalah itu adalah :
1. Perda Nomor 9 Tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota mengenai Koefisien Dasar Bangunan (KDB) mensyaratkan hanya 40 persen saja boleh dibangun.
2. Perda Nomor 12 Tahun 2000 tentang Tata Bangunan mensyaratkan investor, meski sudah mempunyai site plan, harus mengurus Peta Keterangan Rencana Kota (KRK).
3. Perda Nomor 6 Tahun 1999 mengenai Izin HO (permohonan izin gangguan) yang harus diperpanjang setiap 5 tahun
Perda itu berpotensi menyebabkan kawasan industri yang sudah ada tidak berkembang secara maksimal. Ketika usaha pengembangan terhambat perda, penanganan infrastruktur yang buruk di Semarang bagian utara menyebabkan sejumlah kawasan industri,seperti LIK Bugangan Baru dan Kaligawe, kerap kebanjiran.
3. Menghapus 3 (tiga) peraturan daerah provinsi yang dinilai anti-investasi dan merevisi beberapa perda yang sudah ada.
Tiga perda yang dibatalkan adalah :
1. Perda Nomor 4/2003 tentang Retribusi Hasil Hutan Lintas Kabupaten/Kota,
2. Perda Nomor 14/2003 tentang Perhubungan dan Telekomunikasi,
3. Perda Nomor 21/2002 tentang Pengendalian Pemanfaatan Flora dan Fauna.
Perda yang direvisi antara lain :
1. Perda Nomor 4/2009 tentang RPJMD 2008-2013 memberikan arah tentang investasi se-Jateng,
2. Perda Nomor 1/2009 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan,